Bisnis.com, JAKARTA – Prabowo Subianto memanggil sebanyak 108 orang calon menteri, wakil menteri hingga kepala badan atau lembaga. Mereka akan mengisi kabinet yang nantinya membantu kinerja pemerintahan Prabowo.
Kendati demikian, jumlah 108 menteri tersebut berpotensi berubah, apalagi sampai sekarang Prabowo belum mengumumkan secara resmi nomenklatur kementerian yang dibentuk untuk menopang pemerintahannya selama 5 tahun ke depan.
Sementara itu, jika menilik sejarah, jumlah 108 orang dalam suatu kabinet termasuk yang paling banyak pasca reformasi 1998. Rata-rata anggota kabinet pasca 1998 hanya di kisaran 33 sampai 36 orang. Jumlah itu juga lebih banyak bila dibandingkan kabinet Presiden BJ Habibie yang hanya beranggotakan 37 orang.
Padahal pada waktu itu, pemerintahan Habibie menghadapi goncangan yang sangat dahsyat mulai dari krisis ekonomi hingga ancaman disintegrasi.
Jumlah anggota kabinet Prabowo, jika jadi lebih dari 100 orang, hanya bisa disandingkan dengan Kabinet Dwikora I dan Dwikora II pada era Sukarno yang jumlah anggotanya masing-masing sebanyak 110 orang dan 132 orang.
Khusus Kabinet Dwikora II, sejarah mencatatnya sebagai Kabinet Gestapu, Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, atau Kabinet 100 Menteri, karena menterinya lebih dari 100. Lantas apa yang memicu Sukarno pada waktu itu membentuk kabinet 100 Menteri?
Baca Juga
Pecahnya G30S 1965
Situasi politik tidak menentu pasca pecahnya Gerakan 30 September (G30S) 1965. PKI yang 5 bulan sebelumnya menggelar perayaaan ulang tahun yang penuh gegap gempita, seketika menjadi pesakitan. Mereka dituding sebagai otak di balik pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Kantor PKI diserang, kader dan simpatisannya menjadi sasaran pembersihan massal.
Situasi semakin pelik, inflasi yang membumbung tinggi memicu meroketnya harga kebutuhan pokok. Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (1995), misalnya mencatat bahwa kenaikan tarif transportasi umum berada di kisaran 500% - 1.000%, harga beras naik 300% - 500%, dan harga bensin naik tak karuan dari Rp4.00 menjadi Rp1.000 hanya dalam waktu setengah bulan. Rakyatpun semakin tidak puas dengan kinerja pemerintah.
Di tengah ketidakpastian tersebut, para pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia alias KAMI turun ke jalan, menuntut Sukarno alias Bung Karno untuk mengambil langkah strategis. Mereka mendesak Bung Karno untuk memenuhi tiga tuntutan rakyat alias Tritura. Tritura mencakup tuntutan supaya Bung Karno membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur PKI, dan menurunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno merespons aksi mahasiswa itu dengan melakukan reshuffle kabinet Dwikora I yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1966. Namun alih-alih membersihkan kabinet dari unsur PKI, Sukarno justru tetap mempertahankan orang-orang lamanya yang terindikasi terlibat G30S 1965. Surachman dan Oei Tjo Tat dipertahankan. Posisi Subandrio juga masih ada di dalam kabinet. Dia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri alias Waperdam.
“Para mahasiswa memberi nama kabinet itu ‘Kabinet Gestapu’ atau ‘Kabinet 100 Menteri’, karena jumlah anggotanya seratus lebih,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indoesia (SNI) Jilid VI terbitan Balai Pustaka, dikutip Kamis (17/10/2024).
MC Ricklefs di Sejarah Indonesia Modern (2008) menyebut bahwa reshuffle kabinet tersebut sebagai upaya terakhir Sukarno untuk mempertahankan demokrasi terpimpin. Sayangnya, upaya itu tidak banyak membuahkan hasil. Apalagi, dalam kabinet Dwikora atau Kabinet 100 Menteri itu, Bung Karno memberhentikan AH Nasution sebagai Menteri Pertahanan. Perlawanan dari kubu antikomunis yang didukung oleh militer, terus menguat.
Secara perinci, Ricklefs menggambarkan ketegangan di Jakarta gesekan politik tersebut. Ada perang halus antara Sukarno dan Soeharto di Jakarta. Pemuda yang pro Sukarno dan anti-Sukarno saling baku hantam di jalanan ibu kota. Massa pro Sukarno menyerang kedutaan Amerika Serikat (AS). Sukarno juga mulai melarang KAMI. Dia juga memerintahkan menutup aktivitas Universitas Indonesia (UI).
Menariknya alih-alih gentar dari ancaman Sukarno yang posisinya waktu itu masih cukup kuat, kelompok mahasiswa anti-Sukarno tetap melakukan perlawanan. Mereka tidak menghiraukan pernyataan Sukarno yang ingin membubarkan KAMI. Di sisi lain, dengan dukungan militer khususnya Angkatan Darat, mahasiswa anti-Sukarno berhasil menduduki kampus UI.
Gie (1995), yang juga merupakan aktor demonstrasi pro demokrasi pada waktu itu, mengungkapkan rakyat dan mahasiswa memang sangat tidak puas dengan struktur baru kabinet Dwikora jilid II. Menteri yang anti-komunis disingkirkan. Sementara pendukung Gestapu, seperti Subandrio Cs tetap dipertahankan.
Pada tanggal 23 Febuari 1966, mahasiswa turun ke jalan lagi. Mahasiswa memboikot kabinet Dwikora gaya Gestapu. Gie menggambarkan bahwa mahasiswa memblokir jalan menuju istana dengan mengkempeskan ban-ban mobil. Lalu lintas macet. Menteri yang dilantik sampai harus menaiki helikopter. Aksi mahasiswa ditanggapi represif aparat, tembakan keluar. Salah satu korban tewas adalah Arif Rachman Hakim.
“Pada tanggal 25 Februari 1966, KAMI dibubarkan oleh presiden, tetapi mahasiswa tetap tidak mau bubar dan terus berjuang bersama-sama dengan rekan-rekannya dari pelajar.”
Situasi Berbalik, Soeharto Menang?
Singkat cerita, situasi politik berbalik pada Maret 1966. Apalagi pada waktu itu, proses Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sudah berjalan. Letkol Untung yang dalam sejarah disebut sebagai pemimpin para eksekutor jenderal AD divonis mati. Sebaliknya, posisi Angkatan Darat yang menopang demonstrasi mahasiswa, semakin kuat.
Pada tanggal 5 Maret Soeharto menyodorkan nama-nama menteri yang perlu dipecat tetapi ditolak Sukarno. Ricklefs (2008) mengungkapkan bahwa manuver halus antara Sukarno dan Soeharto yang memicu aksi kekerasan di Jakarta pada akhirnya dimenangkan oleh Soeharto.
Pada 11 Maret, utusan Soeharto menemui Bung Karno di Istana Bogor. Mereka menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. Dokumen itu memberi kekuasaan penuh kepada Soeharto untuk memulihkan ketertiban dan keamanan serta menjalankan pemerintahan dan melindungi presiden. Kelak, dalam sejarah dokumen tersebut sebagai Supersemar yang penuh kontroversi.
Sejak Supersemar, Soeharto memiliki legitimasi untuk membersihkan sisa-sisa PKI. Pada tanggal 12 Maret 1966, PKI dibubarkan. Selang 6 hari kemudian (18 Maret 1966), militer juga menahan menteri-menteri seperti Subandrio, Chaerul Saleh, hingga Imam Syafei. Kabinet baru kemudian dibentuk pada tanggal 27 Maret 1966. Pembentukan kabinet baru itu mengakhiri ‘Kebinet 100 Menteri’ dan menandai dimulainya kekuasaan tidak langsung Soeharto.
“Kabinet [baru ini] dipimpin oleh tiga serangkai Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Adam Malik,” jelas Ricklefs.