Usai Jokowinomics, Terbitlah Prabowonomics?

Era rezim kebijakan ekonomi Presiden ke 7 Joko Widodo alias Jokowi atau Jokowinomics telah berakhir setelah lengser.
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna (SKP) perdana di Ruang Sidang Kabinet, Jakarta (23/10/2024). - Humas Setkab/Rahmat).
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna (SKP) perdana di Ruang Sidang Kabinet, Jakarta (23/10/2024). - Humas Setkab/Rahmat).

Bisnis.com, JAKARTA — Era rezim kebijakan ekonomi Presiden ke 7 Joko Widodo alias Jokowi atau Jokowinomics telah berakhir setelah lengser dari kursi kepresidenan pada Minggu (20/10/2024) lalu. Penggantinya adalah Prabowo Subianto mantan rival Jokowi yang kini terpilih sebagai presiden untuk periode 2024-2025. 

Prabowo adalah kebalikan dari Jokowi. Kendati mayoritas tim ekonominya didominasi oleh birokrat maupun politikus pendukung Jokowi pada 2019-2024 dan sering dikaitkan dengan keberlanjutan program pendahulunya, Prabowo nyatanya memiliki konsentrasi sendiri.

Dia misalnya secara terbuka mengkritisi status G20. Menurutnya, status G20 dan tetek bengeknya tidak terlalu penting kalau rakyat atau masyarakat masih banyak yang kelaparan dan sekolah banyak yang rusak.

Prabowo menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan dukungan ketahanan pangan, energi dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia alias SDM.

Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PKS Sukamta memperkenalkan istilah Prabowonomics, yaitu kebijakan ekonomi yang diusung Presiden Prabowo Subianto untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi mencapai 8%.

Sukamta melihat, Prabowonomics berfokus pada pembangunan ekonomi yang berbasis pada kedaulatan pangan, energi, dan peningkatan daya saing industri nasional. Targetnya, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dan penghapusan kemiskinan.

"Kebijakan ini akan memperkuat sektor-sektor kunci, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia," kata Sukamta dalam keterangannya, dikutip Jumat (25/10/2024).

Wakil ketua Fraksi PKS DPR ini menilai, ada beberapa aspek kuat dari Prabowonomics. Pertama, kolaborasi pemerintah dan swasta agar berbagai sektor berkembang lebih cepat.

Kedua, dorongan peningkatan investasi terutama dari sektor swasta dan investor asing. Sukamta mengklaim, pemerintahan Prabowo ingin menciptakan iklim usaha yang kondusif.

"Investasi adalah motor penggerak ekonomi, dan dengan kebijakan yang ramah investasi, kita bisa mempercepat pertumbuhan dan membuka lebih banyak lapangan kerja," katanya.

Oleh sebab itu, Sukamta menekankan pentingnya strategi yang tetap dan dukungan yang konsisten dari para pemegang kepentingan agar berbagai kebijakan perekonomian ke depan bisa berjalan sesuai rencana.

Dia berpendapat, koordinasi lintas sektor yang baik, sinergi antara pemerintah dan swasta, serta dukungan dari masyarakat menjadi prasyarat terwujud pertumbuhan ekonomi 8%.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Anis Byarwati menyampaikan pendapat yang lebih pesimis. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi 8% akan sulit tercapai dengan warisan yang ditinggal pemerintahan Presiden ke 7 RI Joko Widodo (Jokowi).

“Pemerintahan Prabowo tentu akan berat ya karena memang kita masih meninggalkan PR-PR di tahun-tahun sebelumnya. Saya sudah mengatakan bahwa ini harus di-review ulang, 8% itu cukup optimis tapi tentu harus melihat baseline dari pemerintahan sebelumnya,” kata Anis di Kompleks Parlemen Senayan, dikutip dari rilis media Fraksi PKS, Rabu (23/10/2024).

Apalagi, sambungnya, kondisi perekonomian global masih penuh ketidakpastian karena eskalasi perang di Timur Tengah. Anis mengingatkan perlu adanya perencanaan untuk mengantisipasi berbagai kondisi internasional yang bisa berpengaruh pada perekonomian domestik.

Selain itu, dia menilai pemerintah juga tak boleh menisbikan berbagai permasalahan yang ditinggalkan oleh pemerintahan Jokowi seperti utang yang terus menumpuk.

Oleh sebab itu, Anis bahkan mendorong agar Prabowo mengajukan APBN Perubahan 2025 ke DPR. Alasannya, agar pemerintah ke depan lebih leluasa mengeksekusi berbagai program yang membutuhkan anggaran besar sehingga target pertumbuhan 8% bisa tercapai.

“Jadi mungkin harus mengajukan APBN Perubahan dan zaya kira Undang-undang APBN memungkinkan untuk pemerintahan baru mengajukan APBN Perubahan. Kalau menterinya tetap Bu Sri Mulyani, tentu lebih mengetahui tentang apa yang harus dilakukan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Plus logo

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro