Bisnis.com, JAKARTA — Petisi tolak kenaikan PPN menjadi 12% tak hentinya mendapatkan dukungan besar dari masyarakat, seiring ribuan orang yang terus menandatangani tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Petisi "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" terdapat di laman change.org sejak Selasa (19/11/2024). Petisi tersebut dibuat oleh pengguna bernama Bareng Warga sebagai bentuk protes atas rencana tarif PPN naik jadi 12% di tengah pelemahan daya beli.
Hingga Selasa (26/11/2024) pukul 13.07 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 11.680 orang. Khusus pada hari ini, tercatat sebanyak 4.271 orang telah menandatangani petisi tersebut.
Setidaknya terdapat tambahan lebih dari 7.20 orang—dari periode Jumat (22/11/2024) ketika petisi itu baru ditandatangani 4.467 orang—yang mendorong agar pemerintah batal menerapkan PPN 12%.
Dalam petisinya, akun Bareng Warga menilai bahwa rencana pemerintah untuk mengerek PPN menjadi 12% memperdalam kesulitan masyarakat. Pasalnya, harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik dan sangat memengaruhi daya beli.
"Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik," tertulis dalam petisi tersebut, dikutip pada Selasa (26/11/2024).
Baca Juga
Menurutnya, pelemahan daya beli yang sudah terasa sejak Mei 2024 akan semakin parah jika pemerintah tetap memaksa untuk mengerek PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Akun tersebut turut menyoroti soal upah pekerja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, sejak 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata upah minimum provinsi (UMP). Trennya sempat naik di 2022, tetapi kembali turun di 2023.
"Tahun ini selisihnya hanya Rp154.000," tertulis dalam petisi tersebut.
Kendati begitu, dia meragukan UMP sebagai acuan pendapatan yang layak. Sebagai contoh hidup di Jakarta, data BPS 2022 menunjukan dibutuhkan uang sekitar Rp14 juta per bulannya, sedangkan UMP Jakarta di 2024 saja hanya Rp5,06 juta.
Apalagi dari fakta yang ada, tidak sedikit para pekerja mendapatkan upah lebih kecil dari UMP.
Bukan hanya soal upah, akun Bareng Warga juga menyoroti jumlah pengangguran terbuka di Indonesia.
Masih dari data BPS, angka pengangguran terbuka masih sekitar 4,91 juta orang per Agustus 2024. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal di mana jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.
Atas dasar itulah, akun Bareng Warga meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN yang tertuang dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membasa dan menyebar ke mana-mana," tertulis dalam petisi tersebut.
Berikut tautan atau link petisi tuntutan batalkan kenaikan PPN:
Komisi Informasi Pusat Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN jadi 12%
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Rospita Vici Paulyn menjelaskan bahwa pihaknya menangkap keresahan masyarakat terkait wacana kenaikan tarif PPN beberapa waktu terakhir.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tidak boleh menghiraukan keresahan masyarakat yang menjadi cerminan kondisi riil perekonomian saat ini.
"Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kenaikan PPN karena dilakukan dalam kondisi ekonomi masyarakat masih sangat lusuh," kata Rospita dalam konferensi pers di Kantor Komite Informasi Pusat, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).
Dia menjelaskan pemerintah harus mempertimbangkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi ketika mengeluarkan kebijakan yang berpengaruh ke hajat hidup banyak orang, seperti kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Rospita menanyakan, sudah sejauh mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan kajian atas dampak kenaikan tarif PPN termasuk keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya.
Jika Kemenkeu belum terbuka terkait kenaikan PPN menjadi 12% maka akan terus terjadi penolakan kenaikan tarif PPN.
"Sehingga publik paham bahwa kenaikan PPN 12% ini kemudian tidak menjadi beban yang masyarakat hanya membayar kemudian tidak mendapatkan hasil apa-apa dari pajak yang dibayarkannya," ujar Rospita.