Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelantikan Presiden dari Masa ke Masa: Sukarno, Soeharto, hingga Prabowo

Sejarah Indonesia selalu diliputi oleh jatuh bangun kekuasaan, pelantikan presiden pun berlangsung dalam berbagai macam situasi. Berikut sejarahnya:
Presiden terpilih Prabowo Subianto (tengah) berdoa ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nym.
Presiden terpilih Prabowo Subianto (tengah) berdoa ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nym.

Bisnis.com, JAKARTA -- Prabowo Subianto akan dilantik sebagai presiden di gedung DPR/MPR pada hari ini, Minggu (20/10/2024). Dia akan menjabat sebagai presiden ke 8 Republik Indonesia setelah resmi memenangkan kontestasi pemilihan presiden alias Pilpres 2024.

Persiapan pelantikan mulai dari dekorasi hingga gladi resik telah berlangsung sejak beberapa hari terakhir. Pengamanan ibu kota juga diperketat untuk memastikan pelaksanaan pelantikan berlangsung lancar tanpa ada gangguan apapun.

Prabowo Subianto
Prabowo Subianto

Adapun, jika dirunut ke belakang, Prabowo adalah presiden ketiga yang dipilih secara langsung. Sebelum dia ada, Jokowi yang memimpin Indonesia selama 2 periode dan SBY yang juga memimpin Indonesia selama 2 periode.

Sebelum itu, proses pemilihan presiden masih melalui mekanisme di parlemen, MPR. Megawati Soekarnoputri, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Soeharto, ditunjuk melalui mekanisme tersebut. Sementara itu, Habibie tercatat sebagai presiden karena ketentuan konstitusi memang mengatur wakil presiden dilantik sebagai presiden jika presiden mengundurkan diri atau wafat.

Lantas bagaimana sejarah pelantikan presiden dari masa ke masa?

Sukarno 

Sukarno pertama kali ditunjuk sebagai presiden pada 18 Agustus 1945. Melansir laman resmi Perpusnas, penunjukan Sukarno dan wakilnya Mohammad Hatta, dilakukan dalam sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menghasilkan 3 poin penting.

Presiden Sukarno
Presiden Sukarno

Pertama, mengesahkan dan Menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Kedua, memilih Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad  Hatta sebagai Wakil Presiden. Ketiga, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pekerjaan Presiden Sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional.

Semula Indonesia menganut presidensialisme. Namun sistem ini tidak berlangsung lama, karena sejumlah persoalan, Indonesia beralih ke parlementer ketika Kabinet Sjahrir I dibentuk. Sistem parlementer kemudian memicu kondisi politik yang kurang stabil, gonta ganti perdana menteri, kabinet, hingga kecamuk di legislatif sering terjadi. 

Gesekan politik semakin pelik ketika terjadi agresi militer Belanda jilid 1 dan jilid 2 memaksa sebagai wilayah Indonesia berada dalam status quo. Sukarno dan Hatta kemudian memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Setelah proses negosiasi antara Belanda dan Indonesia, maka terbentuklah Republik Indonesia Serikat. Sukarno ditunjuk sebagai presiden RIS. Pelantikan Sukarno dilakukan di Siti Hinggil Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Soeharto Naik Tahta 

Soeharto naik tahta setelah proses kecamuk politik di medio 1960-an. Situasi politik tidak menentu pasca pecahnya Gerakan 30 September (G30S) 1965. PKI yang 5 bulan sebelumnya menggelar perayaaan ulang tahun yang penuh gegap gempita, seketika menjadi pesakitan. Mereka dituding sebagai otak di balik pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Kantor PKI diserang, kader dan simpatisannya menjadi sasaran pembersihan massal.

Situasi semakin pelik, inflasi yang membumbung tinggi memicu meroketnya harga kebutuhan pokok. Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (1995), misalnya mencatat bahwa kenaikan tarif transportasi umum berada di kisaran 500% - 1.000%, harga beras naik 300% - 500%, dan harga bensin naik tak karuan dari Rp4.00 menjadi Rp1.000 hanya dalam waktu setengah bulan. Rakyat pun semakin tidak puas dengan kinerja pemerintah.

Di tengah ketidakpastian tersebut, para pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia alias KAMI turun ke jalan, menuntut Sukarno alias Bung Karno untuk mengambil langkah strategis. Mereka mendesak Bung Karno untuk memenuhi tiga tuntutan rakyat alias Tritura. Tritura mencakup tuntutan supaya Bung Karno membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur PKI, dan menurunkan harga kebutuhan pokok. 

Bung Karno merespons aksi mahasiswa itu dengan melakukan reshuffle kabinet Dwikora I yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1966. Namun alih-alih membersihkan kabinet dari unsur PKI, Sukarno justru tetap mempertahankan orang-orang lamanya yang terindikasi terlibat G30S 1965. Surachman dan Oei Tjo Tat dipertahankan. Posisi Subandrio juga masih ada di dalam kabinet. Dia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri alias Waperdam.

“Para mahasiswa memberi nama kabinet itu ‘Kabinet Gestapu’ atau ‘Kabinet 100 Menteri’, karena jumlah anggotanya seratus lebih,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI terbitan Balai Pustaka, dikutip Kamis (17/10/2024).

MC Ricklefs di Sejarah Indonesia Modern (2008) menyebut bahwa reshuffle kabinet tersebut sebagai upaya terakhir Sukarno untuk mempertahankan demokrasi terpimpin. Sayangnya, upaya itu tidak banyak membuahkan hasil. Apalagi, dalam kabinet Dwikora atau Kabinet 100 Menteri itu, Bung Karno memberhentikan AH Nasution sebagai Menteri Pertahanan. Perlawanan dari kubu antikomunis yang didukung oleh militer, terus menguat.

Secara perinci, Ricklefs menggambarkan ketegangan di Jakarta gesekan politik tersebut. Ada perang halus antara Sukarno dan Soeharto di Jakarta. Pemuda yang pro Sukarno dan anti-Sukarno saling baku hantam di jalanan ibu kota. Massa pro Sukarno menyerang kedutaan Amerika Serikat (AS). Sukarno juga mulai melarang KAMI. Dia juga memerintahkan menutup aktivitas Universitas Indonesia (UI).

Singkat cerita, situasi politik berbalik pada Maret 1966. Apalagi pada waktu itu, proses Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sudah berjalan. Letkol Untung yang dalam sejarah disebut sebagai pemimpin para eksekutor jenderal AD divonis mati. Sebaliknya, posisi Angkatan Darat yang menopang demonstrasi mahasiswa, semakin kuat.

Presiden Soeharto dan Prabowo Subianto
Presiden Soeharto dan Prabowo Subianto

Pada tanggal 5 Maret Soeharto menyodorkan nama-nama menteri yang perlu dipecat tetapi ditolak Sukarno. Ricklefs (2008) mengungkapkan bahwa manuver halus antara Sukarno dan Soeharto yang memicu aksi kekerasan di Jakarta pada akhirnya dimenangkan oleh Soeharto.

Pada 11 Maret, utusan Soeharto menemui Bung Karno di Istana Bogor. Mereka menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. Dokumen itu memberi kekuasaan penuh kepada Soeharto untuk memulihkan ketertiban dan keamanan serta menjalankan pemerintahan dan melindungi presiden. Kelak, dalam sejarah dokumen tersebut sebagai Supersemar yang penuh kontroversi.

Sejak Supersemar, Soeharto memiliki legitimasi untuk membersihkan sisa-sisa PKI. Pada tanggal 12 Maret 1966, PKI dibubarkan. Selang 6 hari kemudian (18 Maret 1966), militer juga menahan menteri-menteri seperti Subandrio, Chaerul Saleh, hingga Imam Syafei. Kabinet baru kemudian dibentuk pada tanggal 27 Maret 1966. Pembentukan kabinet baru itu mengakhiri ‘Kebinet 100 Menteri’ dan menandai dimulainya kekuasaan tidak langsung Soeharto.

Legitimasi kekuasaan Soeharto semakin kuat ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menerbitkan Ketetapan alias TAP MPRS No.33/1967. 

TAP MPRS No.33/1967 memiliki sejumlah 6 pasal utama. Pertama, bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan-jawab konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Kedua, menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Ketiga, melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Sukarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Keempat, menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Kelima, pejabat presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara). Keenam, menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.

Suharto dilantik sebagai presiden oleh MPRS yang waktu itu dikendalikan militer, AH Nasution.

Habibie dan Krisis Ekonomi

Setelah resesi global pada 1982, arah ekonomi Indonesia mulai sedikit bergeser. Sektor nonmigas yang sebelumnya menjadi anak tiri mulai diperhatikan.

Ekspor dan impor, reformasi pajak hingga investasi berbasis industri terus didorong. Tak heran hingga 1996 kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa di atas 6 persen.

Thee Kian Wie, ekonom senior dalam The Soeharto Era & After: Stability, Development and Crisis 1966 – 2000 menulis bahwa perkembangan positif tersebut tak lepas dari peran tim ekonomi Orde Baru. Pertumbuhan sektor manufaktur menjadi salah satu yang paling cepat di kawasan.

Pada tahun 1995, World Bank bahkan mencatat bahwa manufaktur Indonesia masuk tujuh kekuatan terbesar di antara negara-negara berkembang. Pertumbuhan manufaktur ini menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia mulai berjalan.

Sebagai perbandingan jika pada 1969 peran manufaktur hanya 9,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 1995 kontribusi manufaktur ke PDB melesat ke angka 24,2 persen. Sebaliknya kontribusi sektor pertanian yang semula 49,3 persen pada 1969 hanya tersisa 17,2 persen pada 1995.

Namun demikian, perubahan struktur perekonomian ini tidak menjadi jaminan, stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa menahan tensi politik dari gerakan anti-Soeharto yang mulai memanas pada tahun 1996-an. Salah satu perisitiwa yang cukup menohok rezim Orde Baru yaitu penyerangan kantor PDI Pro Mega pada tanggal 27 Juli 1996.

Dokumen APBN 1996/1997 secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa peningkatan tensi politik ikut menjalar ke aktivitas ekonomi. Pada periode tersebut, pemerintah menghadapi overheated economy atau suhu ekonomi yang memanas. Inflasi meroket 8,86 persen pada 1995/1996.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga membengkak menjadi US$6,9 miliar dari sebelumnya yang hanya sekitar US$3 miliar. Kondisi ini semakin parah pada periode-periode setelahnya, apalagi munculnya krisis finansial secara global.

Seperti banyak diulas oleh para ekonom hingga akademisi, krisis finansial pada 1997 benar-benar menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru cukup rapuh. Pemerintah sampai harus ngutang ke IMF buat stabilisasi ekonomi.

Habibie dan Soeharto
Habibie dan Soeharto

Sementara bagi "The Old General", untuk pertama kalinya, dia harus menghadapi tantangan yang cukup serius bagi kelangsungan kekuasaannya yang sudah berumur tiga dasawarsa.

Persoalan merosotnya kinerja ekonomi ibarat membuka kotak pandora. Masalah lainnya, terutama praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan orde daripada Soeharto dan kroni-kroninya mulai mengemuka ke publik.

Puncaknya krisis ekonomi terjadi cukup dalam, inflasi tembus di angka 77,6 persen, ekonomi minus 13,7 persen, kerusuhan sosial, demonstrasi dimana-mana dan Soeharto lengser keprabon setelah 32 tahun berkuasa.

Thee Kian Wie kembali menyinggung bahwa krisis finansial di Asia & terhempasnya ekonomi Indonesia akibat imbas krisis itu menunjukkan betapa pentingnya good governance, yang ironisnya pernah dianggap tidak relevan oleh para ekonom.

"Indonesia memiliki sistem hukum yang lemah dan ketinggalan zaman, tidak efisien, birokrasi yang korup serta tidak adanya demokrasi,” tulis dia dalam artikel yang sama.

Pada tahun 1998, Soeharto lengser keprabon dan sebagai gantinya posisinya digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper